Minggu, 09 Juni 2013

BBM Naik, Apakah Bencana?

Sadar maupun tidak sadar, kita akan terkena dampak terhadap kenaikan harga BBM. Yang jadi pertanyaan apakah kebijakan SBY untuk menaikkan harga bahan bakar minyak adalah sebuah solusi bagi problem peningkatan kesejahteraan bangsa ?Pada kesempatan ini saya ingin sedikit beropini.
Pertama-tama, masyarakat perlu menyadari bahwa uang subsidi bukanlah uang dari sembarangan, namun uang dari pendapatan negara. Pendapatan Negara tersebut bisa dikatakan ya uang masyarakat sendiri, dan total uang masyarakat (pendapatan Negara) tersebut, jika diambil angka kasarnya adalah sekitar 1000 Triliun. Dari sejumlah uang tersebut, sekitar 50%-nya digunakan untuk memenuhi kebutuhan satu tahun (22.5% untuk belanja pegawai, 21,8% untuk subsidi, 13% untuk pembayaran utang). Sedangkan kegiatan investasi (belanja modal), di mana manfaatnya dapat dinikmati lebih dari 1 tahun, hanya dialokasikan sebesar 17,8%.
Jika kita mengambil sudut pandang dari pendekatan tersebut, keputusan kenaikan BBM merupakan bentuk kesadaran dari pemerintah bahwa APBN negara Indonesia perlu dialokasikan ke hal-hal yang lebih bermanfaat (pada belanja modal misalnya).Ini juga bentuk logis dari kenaikan harga minyak dunia.Ingat, bahwa Indonesia adalah negara net importer minyak. Jika tarif BBM tetap dipertahankan, konsekuensinya adalah pengeluaran di post subsidi akan terus menggerus pendapatan negara, dan hal inilah yang pemerintah tidak kehendaki. Oleh karenanya, ketika harga minyak dunia naik, sudah merupakan keniscayaan bahwa tarif BBM dalam negeri juga akan naik.
Hanya saja, permasalahannya terletak pada bagaimana caranya agar masyarakat tidak terbebani oleh kenaikan harga BBM. Pada kesempatan ini, penulis akan mencoba menawarkan alternatif penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) untuk mengurangi dampak negatif kenaikan BBM kepada masyarakat.
Dampak lonjakan harga minyak bumi terhadap APBN sebenarnya bisa diminimalkan apabila kita mampu meningkatkanproduksi minyak mentah.APBN 2008 memang mencantumkan kenaikan asumsi produksi (lifting) minyak dari 950.000 barrel sehari menjadi 1,034 juta barrel sehari. Namun, pengalaman selama delapan tahun terakhir menunjukkan, asumsi APBN untuk lifting minyak lebih kerap dikoreksi ke bawah ketimbang ke atas, sama kerapnya dengan perubahan asumsi harga minyak mentah.
Pernah dinyatakan dalam media elektronik bahwa cadangan gas kita adalah salah satu yang terbesar di dunia.Namun di lapangan, pemanfaatan atas sumber daya alam yang melimpah tersebut belum maksimal. Hal ini bisa dilihat pada apa saja penggunaan sumber daya gas di Indonesia, diantaranya: sebagai sumber energi rumah tangga dan pelaku bisnis, bahan bakar pembangkit listrik, sedangkan sisanya diekspor. Ironisnya, ekspor gas kita (yang salah satunya ke negara Cina) mendapatkan harga yang relatif murah.  Jika fakta tersebut dikaitkan dengan fakta bahwa kita mengimpor minyak, maka bisa dikatakan bahwa kita mengimpor minyak dengan harga mahal tapi justru mengekspor gas melimpah dengan harga yang murah. Sungguh tidak masuk akal!
Idealnya, SDA gas yang melimpah haruslah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu, mengingat cadangan gas kita yang sangat besar.Untuk memaksimalkan penggunaan, maka pemerintah harus mampu menjadikan SDA gas tersebut sebagai substitusi BBM, atau yang kita kenal sebagai Bahan Bakar Gas (BBG). Tentu hal ini akan mengundang pertanyaan terkait harga dan kemungkinan realisasinya. Sekarang, mari kita bahas satu per satu.
Dikatakan oleh salah satu narasumber di media elektronik tersebut mengatakan bahwa jika BBG dapat digunakan sebagai pengganti BBM, maka harga di pasaran akan ada di kisaran level Rp4000, dan itu harga tanpa subsidi!
Untuk realisasinya, beberapa daerah sudah mencoba menggunakan BBG, salah satunya adalah di kota Bogor dengan menggunakan converter kit. Jika fakta tersebut kemudian dikombinasikan dengan pengalaman pemerintah dalam mensosialisasikan kompor gas, maka penulis yakin pemerintah dapat menggantikan penggunaan BBM dengan BBG. Tentunya, dalam penerapan teknologinya akan memerlukan waktu untuk penyempurnaan.
Lalu bagaimana dengan sisa BBM yang tidak digunakan?Sisa BBM yang tidak digunakan bisa diekspor, selagi harga minyak dunia masih kian meroket. Ini tentunya akan sangat menguntungkan Indonesia karena total pendapatan pemerintah meningkat. Di sisi lain, masyarakat juga akan merasakan manfaat murahnya biaya transportasi. Solusi BBG akan menjadi solusi yang sangat tepat.
Berdasarkan analisis penulis, untuk menghentikan perdebatan yang tidak kunjung usai terkait kenaikan BBM, pemerintah harus mencoba untuk mensubstitusi BBM dengan BBG, karena BBG tidak hanya menguntungkan pemerintah, namun juga masyarakat, dan manfaat dari penerapan ini bisa dirasakan di kurun waktu yang lama.



0 komentar:

Posting Komentar