Selasa, 17 Januari 2012

Bakar Diri Adalah Bagian dari Bunuh Diri?

Aksi bakar diri yang begitu aktual diberitakan di media massa baik elektronik ataupun media cetak sempat membuat bulu kuduk ini merinding. Orang yang jadi korban kebakaran mereka menjerit-jerit karena sakit kepanasan. Lah ini ada manusia yang membakar dirinya sendiri. Terlepas dari segala motif atau motivasi yang menjadi latar belakang bakar diri tersebut saya sebagai bangsa Indonesia dan sebagai manusia yang merasa manusia ikut berbela sungkawa atas kejadian tersebut. Bagi yang sudah meninggal semoga akan diterima oleh Allah segala amal kebaikannya selama ini. Tapi bagi kita yang hidup semoga apa yang terjadi akan menjadi bahan pemikiran dan bahan introspeksi pada diri kita masing-masing.
Bakar Diri Adalah Bagian dari Bunuh Diri?
Ini pertanyaan yang menurut saya sangat ironis jika berkaitan dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Apakah dibenarkan menurut agama dan budaya membunuh diri sendiri untuk memperjuangkan masalah negeri ini? Bagi anda saya akan paparkan sebuah artikel menarik yang membuat saya tersadar akan arti sebuah perjuangan. Artikel ini saya ambil dari sebuah blog seorang blogger. Silahkan anda akses melalui blognya langsung di http://herusupanji.blogspot.com/2011/12/bunuh-diri.html
Emile Durkheim, sosiolog kelahiran Prancis (1858) mengungkapkan analisa bunuh diri sebagai fakta sosial. Bukunya tentang itu berjudul Suicide. Pendapatnya tentang bunuh diri sebagai kritik terhadap beberapa pendapat sebelumnya tentang faktor penyebab bunuh diri, yaitu faktor psikologis, biologis dan ekologis.  Emile Durkheim memandang penyebab bunuh diri dari asfek sosiologis tanpa sepenuhnya menafikan ketiga pandangan  sebelumnya.
Perbedaan pandangan Durkheim dengan pandangan sebelumnya adalah pendapatnya bahwa walau bunuh diri merupakan keputusan individu, tingkat bunuh diri tidak dapat dipandang semata-mata sebagai akumulasi dari tindakan individual ini. Lebih dari itu, tingkat bunuh diri merupakan gejala sosial dalam masyarakat. Ia merupakan fakta sosial sui generis, tak bisa direduksi menjadi fakta lain, memiliki karakter, dan sifat dasarnya sendiri. (Hanneman Samuel. 2010:56).
Tindakan bunuh diri seseorang tidak semata-mata dilakukan karena konflik personal dalam dirinya, tetapi dipengaruhi oleh konflik yang mendera masyarakat. Dari sisi inilah Durkheim melihat bunuh diri sebagai gejala sosial dalam mayarakat.
Seperti yang terjadi dengan tren berbusana, bunuh diri juga tampaknya memiliki tren tersendiri. Beberapa tahun silam masyarakat kita seakan permisif ketika seorang bocah (SD) Garut melakukan percobaan bunuh diri dengan memberikan reward beasiswa karena alasan percobaan bunuh dirinya adalah tidak dapat memenuhi kebutuhan sekolah? Ternyata tindakan bocah itu menjadi tren yang diikuti bocah-bocah lain dan mengharapkan perlakuan yang sama.
Bunuh diri yang terjadi dalam serangkaian ketidak berdayaan masyarakat akan berbagai konflik yang menderanya, buknlah disebabkan oleh konflik personal melainkan oleh ketidak nyamanan mereka terhadap sistem sosial, termasuk pranata sosial yang ada. Bunuh diri semacam ini disebabkan karena adanya kesadaran kolektif tentang berbagai kekecewaan yang terjadi, Durkheim menyebutnya anomic suicide, yaitu bunuh diri disebabkan karena ketidak jelasan norma-norma yang mengatur.
Bunuh diri tidak dipandang sebagai penyimpangan dalam masyarakat tertentu, melainkan sebagai gejala sosial akan ikatan solidaritas yang tinggi, pengorbanan dan penghormatan seperti harakiri di masyarakat Jepang.
Berbeda dengan pandangan Emile Durkheim dan pandangan bangsa Jepang, Indonesia tidak membenarkan tindakan bunuh diri, baik secara kultural maupun religius. Kultur bangsa kita mengajarkan keberanian untuk terus berjuang bukan dengan cara bunuh diri dan atau menyakiti diri. Bahkan dalam pandangan Islam, bunuh diri adalah hal yang sangat dilarang karena putus asa itu dosa.
Bangsa Indonesia memiliki jiwa heroik dengan semangat kepahlawanan untuk mencari kemaslahatan bukan mencari jalan pintas tanpa dipikir secara jernih dan mendalam. Jangan muncul perilaku menyakiti diri sendiri atau bunuh diri dengan istilah optional altruistic suicide, yaitu rela berkorban dan memiliki semangat heroik dengan rela melakukan bunuh diri karena mendapat penghargaan masyarakat.
Apapun alasan yang digunakan untuk tindakan bunuh diri dan aksi bakar diri yang mengatas namakan tindakan heroik, kekecewaan akan sistem yang berlaku, atau disebabkan ikatan solidaritas tinggi maupun karena ada penghargaan dari masyarakat bukanlah budaya kita, dan tidak dibenarkan dalam ajaran agama.
Bagaimana dengan perjelasan di atas? Apakah anda akan menjadi menjadi pejuang – pejuang sejati dan membela negeri ini dengan cara  Bunuh diri? Kalau saya akan berkata, maaf tidak. Sekali lagi tidak. Aku berlindung hanya kepada Allah dari perbuatan-perbuatan yang justru akan menjerumuskan kita baik di dunia ataupun di akherat. Kepada penulis artikel di atas saya acungkan jempol karena telah memberikan cahaya yang terang tentang masalah yang terjadi di Indonesia saat ini.


sumber dari : http://muktiblog.com

0 komentar:

Posting Komentar